Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Satu Masalah Umum di Tempat Kerja: Bullying

Apakah Anda pernah di-bully di tempat kerja? Jika pernah, Anda tidak sendiri.

Sebuah survei yang dilakukan oleh CareerBuilder di tempat kerja baru-baru ini menemukan bahwa sekitar 28 persen karyawan di AS pernah mengalami bullying di tempat kerja. Karyawan yang paling banyak mengalami bullying di tempat kerja adalah mereka yang cacat fisik, sebanyak 44 persen orang yang mengalami cacat fisik melaporkan bahwa mereka telah menjadi korban perilaku semacam itu, dan sisanya sebanyak 30%  adalah para lesbian, biseksual, dan transgender.

Berdasarkan jenis kelaminnya, wanita lebih banyak mengalami bullying di tempat kerja, dengan jumlah seperti tiga dari insiden itu, dibandingkan dengan pria yang hanya 22 persen saja. Mungkin tidak mengherankan, banyaknya karyawan dengan bayaran rendah dan berpendidikan rendah, mereka mengatakan bahwa mereka pernah dibully oleh mereka yang memiliki income lebih tinggi - sebanyak 28% dari mereka yang berpenghasilan di bawah $50 ribu per tahun mengatakan bahwa mereka pernah dibully, sementara hanya 19 persen saja dari kelompok berpenghasilan di atas jumlah itu.

Bagi dunia bisnis, bullying bisa berdampak pada tingginya turnover (biaya operasional), karena 19 persen dari mereka  yang pernah merasa di-bully di tempat kerja akan meninggalkan pekerjaan. Oleh mahalnya biaya mengganti karyawan, kenaikan itu membebani bisnis.

Berikut ini bentuk-bentuk bullying yang paling sering terjadi, menurut survei, dalam persen:

  • Tuduhan kesalahan yang diarahkan pada orang yang tidak melakkannya (43%)
  • Standar ataupun kebijakan yang berbeda yang digunakan di tempat kerja (41%)
  • Karyawan yang merasa digosipkan di tempat kerja (34%)
  • Terus menerus dikritik oleh atasan ataupun teman kerja (32%)
  • Komen-komen yang melecehkan tentang pekerjaan seseorang pada saat rapat (29%)
  • Diteriaki atasan di depan teman-teman kerjanya (27)
  • Dengan sengaja tidak dilibatkan dalam proyek atau rapat (20%)
  • Kredit atas kinerja karyawan yang dicuri (20%)
  • Melecehkan karena alasan ras, jenis kelamin, penampilan maupun atribut-atribut personal lainnnya (20)

Namun, ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh korban bullying untuk mengatasi bullying:

  • Secara langsung minta berhenti membullly. Ini sepertinya konyol karena mungkin saja orang yang mem-bully tahu apa yang ia lakukan, tetapi tidak selalu begitu adanya. Sebagian orang tidak tahu bahwa tindakannya itu berdampak pada orang lain. Sampaikan.
  • Sampaikan pada atasan. Jika bullying datang dari teman kerja atau orang yang berasal dari departemen lain, bos Anda memilki kewajiban moral ataupun profesional, jika bukan yang berkaian dengan hukum, untuk menghentikannya. Cobalah sampaikan dengan jelas dan tidak dengan emosi. Sebagai contoh, "Farid seringkali mengatakan kata-kata kasar tentang kinerja saya pada saat rapat. Bisakah Bapak memberitahu dia tentang perilakunya itu? Apa yang dia lakukan menurunkan moral dan membayakan tim secara keseluruhan."
  • Jika pelakunya atasan bagaimana? Anda bisa datang ke HRD atau ke atasannya atasan Anda, tetapi siap-siap saja Anda tidak akan digubris. Jika atasan Anda mencapai goal kinerjanya, mungkin HRD tidak akan peduli apa yang Anda rasakan. Jika memungkinkan, ajaklah teman kerja Anda dan berikan informasi sebagai cara "memaksa" bersama, itu bisa membantu.
  • Bicaralah ketika Anda melihat pem-bully-an, meskipun itu bukan Anda yang di-bully. Orang yang senang mem-bully biasanya berhasil mengucapkan kata-kata kasar pada orang lain yang selaras dengan perilaku buruknya. Jangan dibiarkan. Setiap kali Anda melihat teman kerja membicarakan keburukan orang lain, bicaralah. Setiap kali Anda mendengar seseorang berbohong atau berusaha untuk menyebarkan gossip murahan, bicaralah. Lindungi korban.
Jika ternyata perusahaan tempat Anda bekerja tidak berusaha menghentikan pem-bully-an, pertimbangkan untuk mencari pekerjaan lain. Ketika Anda menemukan pekerjaan baru, tinggalkan pekerjaan lama, dan jangan pernah menengok ke belakang. 

Oleh: Suzanne Lucas, untuk CBSNEWS.COM